Rabu, 14 Mei 2008

NEGARA, KORPORASI DAN LINGKUNGAN

Catatan L. Solihin (Bogor) dari acara Roundtable Discussion CSR di IPB International Convention Center (IICC) Bogor 24 April 2008.
---------------------------------



Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam (SDA) yang dimilikinya, merupakan salah satu alasan mengapa sebagian dari pengelelolaannya dipercayakan kepada pihak korporasi. Namun kepercayaan yang diberikan terkadang sering kali melanggar aspek-aspek kelestarian lingkungan dan aspek sosial masyarakat. Sehingga bukannya mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan, tetapi justru berbalik menjadi kutukan dari sumberdaya alam tersebut.

Membahas soal pengelolaan SDA oleh korporasi saat ini menjadi penting karena korporasi memiliki kekuatan ekonomi yang berpengaruh besar terhadap struktur ekonomi politik suatu negara. Teknologi yang dimiliki korporat relative lebih canggih dibanding pemerintah, sehingga mereka bisa melakukan eksploitasi dengan efisien, optimal atau menguntungkan secara ekonomi. Maka perkembangan fase negara bangsa ke depan, korporasi akan menjadi mitra penting bagi negara dalam mendesain agenda pembangunan di segala bidang, tak terkecuali dibidang sumberdaya alam dan lingkungan.
Jika kita merunut 100 aktor ekonomi terbesar dunia, maka 48 aktor diantaranya merupakan negara, sedangkan sisanya dikendalikan oleh korporasi. Pada tahun 2002, 70 persen ekonomi dunia dikendalikan oleh 500 korporasi besar.
Dengan demikian, negara bukanlah satu-satunya aktor dalam perekonomian nasional. Pendapatan yang diperoleh korporat dari aktivitas ini sangat besar. Bahkan pada tataran global, pendapatan pertahun korporat mampu melebihi pendapatan suatu negara. Misalnya pada tahun 2005, total keuntungan penjualan retail dari Wal Mart’s mencapai $ 285,2 Miliar dolar AS, jauh melampaui kombinasi PDB seluruh negara di kawasan Sub-Sahara Afrika (Stiglitz, 2006:188).
Dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, para korporat meraup keuntungan yang luar biasa dari bisnis ini. Tapi kontrol atas aktivitas korporat ini sangat minim, menyebabkan korporat terkadang melakukan aktivitas yang destruktif terhadap lingkungan disekitarnya. Misalnya kasus dugaan pencemaran lingkungan yang muncul dari aktivitas PT Newmont Minahasa di Teluk Buyat. Meski kenyataannya sampai sekarang belum ada kejelasan siapa yang benar atau yang salah. Akan tetapi hal ini mendindikasikan bahwa kontrol pemerintah terhadap aktivitas pertambangan belum optimal.
Robert F. Kenedy dalam bukunya Crime Against Nature menguraikan secara rinci dan gamblang dampak kutukan sumberdaya bagi penduduk di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa akibat pembangunan industri dan pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak terkendali, maka di banyak tempat di Amerika Serikat, lingkungan dan sumberdaya alam menjadi rusak parah. Pencemaran yang umum terjadi dari aktivitas pertambangan adalah polusi udara, kontaminasi air sungai dan danau, pandemic penyakit, hujan asam, tumpukan merkuri di laut, kerusakan landscape pedesaan, serta usia harapan hidup yang makin singkat.
Oleh Karena itu, tidak heran jika banyak kalangan selalu mempertanyakan keamanan pembuangan tailing dari kegiatan pertambangan atau pembuangan limbah industri di tanah air. Sifat individualistik dari korporasi menyebabkan tanggungjawab sosialnya terhadap lingkungan sekitarnya sangat kecil.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya yang kini mulai diterapkan, masih dipahami beragam oleh masyarakat. Pemahaman yang tidak utuh ini menyebabkan miskomunikasi antara stakeholder dalam dunia usaha. Termasuk model CSR yang diterapkan, apakah CSR ini akan mengarah ke voluntary oriented (beroritentasi pada kegiatan sosial) atau akan mengarah menjadi monetary oriented (orientasi ekonomi). Namun yang pasti, dalam CSR ini mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan jaminan sosial terhadap masyarakat di sekitarnya, dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitar aktivitas usaha.
Menurut Arief Siregar, P.hD, Presiden Direktur/CEO PT. INCO, tbk. tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungannya tidak perlu diatur dalam CSR. Bagi perusahaan, tanpa diatur pun perusahaan akan mengalokasikan sendiri anggaran untuk masyarakat disekitarnya. CSR merupakan panggilan jiwa dari dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut masyarakat setempat dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Dalam kenyatannya, setiap aktivitas yang dilakukan oleh korporasi sudah pasti akan menimbulkan dampak positif dan negative bagi lingkungan sosial budaya masyarakat. Dengan fakta tersebut, maka perusahaan yang telah melakukan kerusakan lingkungan, melanggar HAM karyawan, maupun melakukan PHK sepihak oleh perusahaan, akan bisa dikurangi.
Yang dikhawatirkan jika perusahaan diwajibkan untuk menyediakan biaya sosial adalah justru hilangnya nilai-nilai sosial dari perusahaan terhadap lingkungan disekitarnya. Hubungan antara pihak perusahaan dengan masyarakat akan semakin renggang. Hubungan yang dibangun tidak akan pernah langgeng, tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat hanya memberikan sejumlah uang kemudian selesai. Tidak ada lagi hubungan sosial antara perusahaan dengan lingkungannya. Misalnya terjadi kecelakaan atau musibah yang menimpa masyarakat atau karwayan di lingkungan perusahaan, pihak perusahaan tidak akan mau peduli karena perusahaan merasa telah membayar sejumlah uang sesuai yang ditetapkan Undang-undang..
Sebagai perusahaan yang beroperasi tengah-tengah masyarakat, mestinya korporasi ini harus memperhatikan atau mengutamakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Sifat alturistik korporat selayaknya sebagai individu yang lebih mengutamakan hasrat dan kebutuhan orang banyak, melebihi kebutuhan dirinya sendiri. Tetapi karena korporat hidup di lingkungan kapitalisme, harapan tersebut sangat sulit diwujudkan. Di dalamnya ada kompetisi ekonomi yang luar biasa, tekanan politik, maupun tekanan ekonomi-politik internasional.
Dengan demikian, menurut pakar pembangunan berkelanjutan John Elkington (2001), berdasarkan kesamaan sifatnya, korporasi bisa dikelompkkan menjadi empat jenis serangga, yaitu ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee). Korporasi ulat dan belalang merupakan korporasi yang bersifat merusak (degeneratif). Sebaliknya, korporasi kupu-kupu dan lebah madu merupakan korporasi yang bersifat menumbuhkan (regeneratif). Dari pengelompokan korporasi tersebut, kelompok manakah yang menghegemoni sumberdaya alam kita?

Bogor, 29 April 2008

Tidak ada komentar: