Kamis, 29 Mei 2008

WASPADI KELUAR DARI OPEC!

Indonesia telah resmi menyatakan keluar dari keanggotaan OPEC. Adalah keputusan yang tepat secara ekonomi, dimana dengan keluar dari OPEC, kita bisa dengan bebas menetapkan jumlah produksi minyak, dan menjualnya kepada siapa saja yang berani membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi keputusan ini sangat beresiko terhadap
Tidak demikian halnya ketika berada dibawah aturan OPEC, meskipun harga minyak dunia melangit, tetap saja kita tidak bisa menjual dalam jumlah yang lebih banyak karena quota produksi kita telah ditetapkan oleh OPEC. Hal ini merupakan kebijakan yang sangat tidak menguntungkan secara ekonomi. Siapa yang tidak greget milihat kondisi seperti ini. Seharusnya, ketika harga tinggi, maka kebijakan yang harus diambil adalah meningkatkan jumlah produksi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan ketika harga turun, maka produksi dikurangi, selain untuk mencegah semakin merosotnya harga akibat suplay yang tinggi, juga untuk menjaga sustaibability atau keberlanjutan dari sumberdaya minyak tersebut.
Tentunya kita berharap setelah keluar dari OPEC, harga minyak akan tetap tinggi atau bahkan bisa lebih tinggi lagi supaya devisa negara bisa meningkat dari sektor migas ini.

Dampak Sosial:
Selama ini Indonesia identik dengan Islam dan dekat dengan negara-negara Arab seperti Iran, Saudi Arabia, dan beberapa negara Islam lainnya yang notabene negara produsen minyak terbesar di dunia. Namun dengan keluarnya Indonesia dari OPEC tentu saja akan merubah peta politik perdagangan internasional kita. Yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana sikap negara-negara Arab tersebut yang sudah kadung akrab secara ideologi, lalu tiba-tiba hanya untuk kepentingan ekonomi semata, hubungan tersebut harus diakhiri.
Dalam politik perdagangan (minyak) sekarang ini, Indonesia mencoba berdiri diantara dua kekuatan besar, yaitu negara suplayer minyak yang identik dengan negara Islam dan negara-negara demander yang identik dengan negara sekuler.
Melihat kondisi obyektif bangsa kita hari ini, barangkali sedikit kita perlu khawatir dengan keputusan tersebut. Mampukah kita berkompetisi dengan negara-negara produsen minyak lain di dunia ini?
Kecemasan ini muncul mengingat prilaku para pemegang amanah di negara ini yang bermental korup, dan rasa nasionalisme yang konon semakin memudar.
Kalau boleh kita berkaca dari beberapa negara produsen minya seperti Malaysia dan Brunai dan negara-negara lainnya dalam memasarkan produksi minyaknya, maka kita akan bisa melihat beberapa faktor yang menyebabkan mereka berhasil mengelola sumberdaya minyaknya. Konon, pemerintah tidak mau menggunakan tenaga kerja asing dalam mengelola sumberdaya minyaknya, disamping karena upah untuk membayar tenaga kerja tersebut cukup tinggi, kemampuan sumberdaya dalam negerinya cukup handal. Dan tenaga kerja di dalam negeri dengan ikhlas menerima gaji di bawah gaji standar tenaga kerja asing.
Namun dengan kebijakan ini, mereka sampai sekarang mampu bertahan di tengah guncangan resesi ekonomi dunia. Kini mereka mampu meraup keuntungan besar dari kenaikan harga minyak dunia ini. Sedangkan kita, boro-boro mau dibayar di bawah upah standar, malahan sudah dibayar tinggi, masih korupsi juga. Wajarkah jika kita menyangsikan nasionalisme mereka?

Membuka Pasar Baru
Setelah keluar dari OPEC, tentu tugas utama kita sekarang ini adalah membuka pasar baru untuk memasarkan produksi minyak kita. Ketika masih menjadi anggota OPEC, kita tidak perlu capek-capek mencari pasar karena sudah ada organisasi yang membantu memasarkan produk kita. OPEC telah membuat kita menjadi malas dan cenderung menjadi manja menghadapi politik perdagangan dunia.
Secara kasat mata, kondisi ini memang sangat memudah semua anggota OPEC, dengan demikian siapapun bisa mengelola sumberdaya ini dengan mudah. Logikanya, kita punya minyak lalu dijualkan oleh orang lain dan kita dapat uang. Tidak peduli, minyak ini mau dijual kepada siapa, yang penting ada uang yang masuk dari barang yang dijual. Hal ini tentu saja sikap politik dagang yang sangat sederhana.
Berbeda dengan kedua negara yang disebutkan di atas relatif memiliki pasar yang jelas dan pengalaman yang lebih banyak dalam menjual hasil produksi minyaknya. Brunai maupun Malaysia dikenal memiliki stok minyak yang terbilang tidak sedikit. Tapi dia memilih tidak masuk menjadi anggota OPEC karena dengan rasa percaya diri yang kuat dan kepiawaian dagang yang cukup, mereka mampu menjual produksi minyaknya kepada negara manapun dengan mengikuti tren permintaan pasar.
Kalau dulu Malaysia belajar dari Pertamina, maka sekarang tidak ada salahnya kita yang harus belajar kepada mereka. Tentu saja, kalau dulu Malaysia belajar dari kita dan mengambil yang baik-baiknya saja dari kita, maka kita juga sebisa mungkin harus seperti itu. Walaupun ada kemungkinan yang baik-baik itu tidak akan diberikan kepada kita.

Tidak ada komentar: