Jumat, 02 September 2011

Kamis, 29 Mei 2008

WASPADI KELUAR DARI OPEC!

Indonesia telah resmi menyatakan keluar dari keanggotaan OPEC. Adalah keputusan yang tepat secara ekonomi, dimana dengan keluar dari OPEC, kita bisa dengan bebas menetapkan jumlah produksi minyak, dan menjualnya kepada siapa saja yang berani membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi keputusan ini sangat beresiko terhadap
Tidak demikian halnya ketika berada dibawah aturan OPEC, meskipun harga minyak dunia melangit, tetap saja kita tidak bisa menjual dalam jumlah yang lebih banyak karena quota produksi kita telah ditetapkan oleh OPEC. Hal ini merupakan kebijakan yang sangat tidak menguntungkan secara ekonomi. Siapa yang tidak greget milihat kondisi seperti ini. Seharusnya, ketika harga tinggi, maka kebijakan yang harus diambil adalah meningkatkan jumlah produksi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan ketika harga turun, maka produksi dikurangi, selain untuk mencegah semakin merosotnya harga akibat suplay yang tinggi, juga untuk menjaga sustaibability atau keberlanjutan dari sumberdaya minyak tersebut.
Tentunya kita berharap setelah keluar dari OPEC, harga minyak akan tetap tinggi atau bahkan bisa lebih tinggi lagi supaya devisa negara bisa meningkat dari sektor migas ini.

Dampak Sosial:
Selama ini Indonesia identik dengan Islam dan dekat dengan negara-negara Arab seperti Iran, Saudi Arabia, dan beberapa negara Islam lainnya yang notabene negara produsen minyak terbesar di dunia. Namun dengan keluarnya Indonesia dari OPEC tentu saja akan merubah peta politik perdagangan internasional kita. Yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana sikap negara-negara Arab tersebut yang sudah kadung akrab secara ideologi, lalu tiba-tiba hanya untuk kepentingan ekonomi semata, hubungan tersebut harus diakhiri.
Dalam politik perdagangan (minyak) sekarang ini, Indonesia mencoba berdiri diantara dua kekuatan besar, yaitu negara suplayer minyak yang identik dengan negara Islam dan negara-negara demander yang identik dengan negara sekuler.
Melihat kondisi obyektif bangsa kita hari ini, barangkali sedikit kita perlu khawatir dengan keputusan tersebut. Mampukah kita berkompetisi dengan negara-negara produsen minyak lain di dunia ini?
Kecemasan ini muncul mengingat prilaku para pemegang amanah di negara ini yang bermental korup, dan rasa nasionalisme yang konon semakin memudar.
Kalau boleh kita berkaca dari beberapa negara produsen minya seperti Malaysia dan Brunai dan negara-negara lainnya dalam memasarkan produksi minyaknya, maka kita akan bisa melihat beberapa faktor yang menyebabkan mereka berhasil mengelola sumberdaya minyaknya. Konon, pemerintah tidak mau menggunakan tenaga kerja asing dalam mengelola sumberdaya minyaknya, disamping karena upah untuk membayar tenaga kerja tersebut cukup tinggi, kemampuan sumberdaya dalam negerinya cukup handal. Dan tenaga kerja di dalam negeri dengan ikhlas menerima gaji di bawah gaji standar tenaga kerja asing.
Namun dengan kebijakan ini, mereka sampai sekarang mampu bertahan di tengah guncangan resesi ekonomi dunia. Kini mereka mampu meraup keuntungan besar dari kenaikan harga minyak dunia ini. Sedangkan kita, boro-boro mau dibayar di bawah upah standar, malahan sudah dibayar tinggi, masih korupsi juga. Wajarkah jika kita menyangsikan nasionalisme mereka?

Membuka Pasar Baru
Setelah keluar dari OPEC, tentu tugas utama kita sekarang ini adalah membuka pasar baru untuk memasarkan produksi minyak kita. Ketika masih menjadi anggota OPEC, kita tidak perlu capek-capek mencari pasar karena sudah ada organisasi yang membantu memasarkan produk kita. OPEC telah membuat kita menjadi malas dan cenderung menjadi manja menghadapi politik perdagangan dunia.
Secara kasat mata, kondisi ini memang sangat memudah semua anggota OPEC, dengan demikian siapapun bisa mengelola sumberdaya ini dengan mudah. Logikanya, kita punya minyak lalu dijualkan oleh orang lain dan kita dapat uang. Tidak peduli, minyak ini mau dijual kepada siapa, yang penting ada uang yang masuk dari barang yang dijual. Hal ini tentu saja sikap politik dagang yang sangat sederhana.
Berbeda dengan kedua negara yang disebutkan di atas relatif memiliki pasar yang jelas dan pengalaman yang lebih banyak dalam menjual hasil produksi minyaknya. Brunai maupun Malaysia dikenal memiliki stok minyak yang terbilang tidak sedikit. Tapi dia memilih tidak masuk menjadi anggota OPEC karena dengan rasa percaya diri yang kuat dan kepiawaian dagang yang cukup, mereka mampu menjual produksi minyaknya kepada negara manapun dengan mengikuti tren permintaan pasar.
Kalau dulu Malaysia belajar dari Pertamina, maka sekarang tidak ada salahnya kita yang harus belajar kepada mereka. Tentu saja, kalau dulu Malaysia belajar dari kita dan mengambil yang baik-baiknya saja dari kita, maka kita juga sebisa mungkin harus seperti itu. Walaupun ada kemungkinan yang baik-baik itu tidak akan diberikan kepada kita.

Rabu, 14 Mei 2008

NEGARA, KORPORASI DAN LINGKUNGAN

Catatan L. Solihin (Bogor) dari acara Roundtable Discussion CSR di IPB International Convention Center (IICC) Bogor 24 April 2008.
---------------------------------



Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam (SDA) yang dimilikinya, merupakan salah satu alasan mengapa sebagian dari pengelelolaannya dipercayakan kepada pihak korporasi. Namun kepercayaan yang diberikan terkadang sering kali melanggar aspek-aspek kelestarian lingkungan dan aspek sosial masyarakat. Sehingga bukannya mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan, tetapi justru berbalik menjadi kutukan dari sumberdaya alam tersebut.

Membahas soal pengelolaan SDA oleh korporasi saat ini menjadi penting karena korporasi memiliki kekuatan ekonomi yang berpengaruh besar terhadap struktur ekonomi politik suatu negara. Teknologi yang dimiliki korporat relative lebih canggih dibanding pemerintah, sehingga mereka bisa melakukan eksploitasi dengan efisien, optimal atau menguntungkan secara ekonomi. Maka perkembangan fase negara bangsa ke depan, korporasi akan menjadi mitra penting bagi negara dalam mendesain agenda pembangunan di segala bidang, tak terkecuali dibidang sumberdaya alam dan lingkungan.
Jika kita merunut 100 aktor ekonomi terbesar dunia, maka 48 aktor diantaranya merupakan negara, sedangkan sisanya dikendalikan oleh korporasi. Pada tahun 2002, 70 persen ekonomi dunia dikendalikan oleh 500 korporasi besar.
Dengan demikian, negara bukanlah satu-satunya aktor dalam perekonomian nasional. Pendapatan yang diperoleh korporat dari aktivitas ini sangat besar. Bahkan pada tataran global, pendapatan pertahun korporat mampu melebihi pendapatan suatu negara. Misalnya pada tahun 2005, total keuntungan penjualan retail dari Wal Mart’s mencapai $ 285,2 Miliar dolar AS, jauh melampaui kombinasi PDB seluruh negara di kawasan Sub-Sahara Afrika (Stiglitz, 2006:188).
Dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, para korporat meraup keuntungan yang luar biasa dari bisnis ini. Tapi kontrol atas aktivitas korporat ini sangat minim, menyebabkan korporat terkadang melakukan aktivitas yang destruktif terhadap lingkungan disekitarnya. Misalnya kasus dugaan pencemaran lingkungan yang muncul dari aktivitas PT Newmont Minahasa di Teluk Buyat. Meski kenyataannya sampai sekarang belum ada kejelasan siapa yang benar atau yang salah. Akan tetapi hal ini mendindikasikan bahwa kontrol pemerintah terhadap aktivitas pertambangan belum optimal.
Robert F. Kenedy dalam bukunya Crime Against Nature menguraikan secara rinci dan gamblang dampak kutukan sumberdaya bagi penduduk di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa akibat pembangunan industri dan pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak terkendali, maka di banyak tempat di Amerika Serikat, lingkungan dan sumberdaya alam menjadi rusak parah. Pencemaran yang umum terjadi dari aktivitas pertambangan adalah polusi udara, kontaminasi air sungai dan danau, pandemic penyakit, hujan asam, tumpukan merkuri di laut, kerusakan landscape pedesaan, serta usia harapan hidup yang makin singkat.
Oleh Karena itu, tidak heran jika banyak kalangan selalu mempertanyakan keamanan pembuangan tailing dari kegiatan pertambangan atau pembuangan limbah industri di tanah air. Sifat individualistik dari korporasi menyebabkan tanggungjawab sosialnya terhadap lingkungan sekitarnya sangat kecil.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya yang kini mulai diterapkan, masih dipahami beragam oleh masyarakat. Pemahaman yang tidak utuh ini menyebabkan miskomunikasi antara stakeholder dalam dunia usaha. Termasuk model CSR yang diterapkan, apakah CSR ini akan mengarah ke voluntary oriented (beroritentasi pada kegiatan sosial) atau akan mengarah menjadi monetary oriented (orientasi ekonomi). Namun yang pasti, dalam CSR ini mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan jaminan sosial terhadap masyarakat di sekitarnya, dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitar aktivitas usaha.
Menurut Arief Siregar, P.hD, Presiden Direktur/CEO PT. INCO, tbk. tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungannya tidak perlu diatur dalam CSR. Bagi perusahaan, tanpa diatur pun perusahaan akan mengalokasikan sendiri anggaran untuk masyarakat disekitarnya. CSR merupakan panggilan jiwa dari dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut masyarakat setempat dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Dalam kenyatannya, setiap aktivitas yang dilakukan oleh korporasi sudah pasti akan menimbulkan dampak positif dan negative bagi lingkungan sosial budaya masyarakat. Dengan fakta tersebut, maka perusahaan yang telah melakukan kerusakan lingkungan, melanggar HAM karyawan, maupun melakukan PHK sepihak oleh perusahaan, akan bisa dikurangi.
Yang dikhawatirkan jika perusahaan diwajibkan untuk menyediakan biaya sosial adalah justru hilangnya nilai-nilai sosial dari perusahaan terhadap lingkungan disekitarnya. Hubungan antara pihak perusahaan dengan masyarakat akan semakin renggang. Hubungan yang dibangun tidak akan pernah langgeng, tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat hanya memberikan sejumlah uang kemudian selesai. Tidak ada lagi hubungan sosial antara perusahaan dengan lingkungannya. Misalnya terjadi kecelakaan atau musibah yang menimpa masyarakat atau karwayan di lingkungan perusahaan, pihak perusahaan tidak akan mau peduli karena perusahaan merasa telah membayar sejumlah uang sesuai yang ditetapkan Undang-undang..
Sebagai perusahaan yang beroperasi tengah-tengah masyarakat, mestinya korporasi ini harus memperhatikan atau mengutamakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Sifat alturistik korporat selayaknya sebagai individu yang lebih mengutamakan hasrat dan kebutuhan orang banyak, melebihi kebutuhan dirinya sendiri. Tetapi karena korporat hidup di lingkungan kapitalisme, harapan tersebut sangat sulit diwujudkan. Di dalamnya ada kompetisi ekonomi yang luar biasa, tekanan politik, maupun tekanan ekonomi-politik internasional.
Dengan demikian, menurut pakar pembangunan berkelanjutan John Elkington (2001), berdasarkan kesamaan sifatnya, korporasi bisa dikelompkkan menjadi empat jenis serangga, yaitu ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee). Korporasi ulat dan belalang merupakan korporasi yang bersifat merusak (degeneratif). Sebaliknya, korporasi kupu-kupu dan lebah madu merupakan korporasi yang bersifat menumbuhkan (regeneratif). Dari pengelompokan korporasi tersebut, kelompok manakah yang menghegemoni sumberdaya alam kita?

Bogor, 29 April 2008

Kamis, 17 April 2008

foro sewaktu memprotes Menkes soal keabsahan hasil penelitian IPB

Tinjauan Program Konservasi Laut

Indonesia memiliki areal terumbu karang sekitar 75.000 km2 atau sekitar 12,5 persen dari luas terumbu karang di dunia. Akan tetapi secara umum kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini berada pada kondisi rusak cukup parah, terutama akibat kegiatan manusia (anthropogenic). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi yang diikuti dengan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi pula, sehingga masyarakat melakukan ekploitasi dengan cara-cara yang destruktif guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Suparmoko (2000) menyatakan bahwa hingga tahun 1997 hanya sekitar 40 persen terumbu karang di Indonesia dalam kondisi baik.
Dari total luas kawasan terumbu karang di Indonesia tersebut, 448,763 hektar diantaranya terdapat di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Desa Gili Indah Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jika dirinci, sekitar 192,9621 ha terdapat di Gili Trawangan, 118,9508 di Gili Meno dan 136,8505 ha di Gili Air. Kondisinya juga sama seperti kawasan terumbu karang lainnya, hanya sekitar 16 persen dari total luas kawasan terumbu karang yang berada dalam kondisi baik, (BKSDA NTB, 2004).
Seperti halnya program konservasi hutan, konservasi lahan, konservasi air, atau konservasi atas sumberdaya alam lainnya, konservasi merupakan suatu upaya untuk melindungi suatu sumberdaya dari kepunahan. Menurunnya nilai suatu sumberdaya, baik secara ekonomi maupun secara teknis atas sumberdaya yang ada didalamnya disebabkan karena eksploitasi yang berlebihan dan dilakukan dengan cara destruktif. Konservasi dilakukan ketika sumberdaya tersebut sudah mulai terdegradasi atau mengalami krisis akibat eksploitasi berlebihan. Begitu juga dengan program konservasi yang dilakukan sampai saat sekarang ini di Desa Gili Indah Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/93 tanggal 16 Februari 1993 (penunjukan) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 (penetapan), kawasan Desa Gili Indah telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut. Apalagi kawasan ini bersifat open access, sehingga menyebabkan setiap orang bisa dengan bebas masuk untuk melakukan eksploitasi, kapanpun dan dalam jumlah berapapun.
Kawasan yang dikenal dengan keindahan sumberdaya terumbu karang dan keanekaragaman biota lautnya, saat ini kondisinya sangat memperihatinkan. Terutama akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, potasium, dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan baku produksi kapur. Hanya sekitar 16 persen dari total luas kawasan terumbu karang yang berada dalam kondisi baik, (BKSDA NTB, 2004).
Seperti yang diketahui bahwa manfaat yang diperoleh dengan adanya sumberdaya terumbu karang tidak hanya manfaat kegunaan (use value) yang bisa dinikmati secara langsung (direct use value) maupun tidak langsung (indirect use value). Selain itu, ekosistem terumbu karang juga menghasilkan manfaat bukan kegunaan (non-use value) seperti manfaat eksistensi, manfaat warisan dan lain-lain. Nilai manfaat ini akan berubah tergantung dari program konservasi yang sekarang ini sedang dilakukan.
Selain manfaat yang dapat diperoleh dari program konservasi ini, ada juga biaya yang harus ditanggung oleh pihak pengelola maupun masyarakat. Dalam ekonomi konvensional, biaya yang diperhitungkan suatu kegiatan hanya biaya langsung (direct project-cost), tetapi dalam ekonomi lingkungan, tidak hanya biaya tersebut yang dikeluarkan, namun ada yang disebut dengan biaya tidak langsung seperti biaya eksternalitas.
Dengan demikian, analisa biaya-manfaat ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah program konservasi ini bermanfaat atau tidak bagi kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi jika analisa biaya-manfaat tidak segera dilakukan, pertama terjadi penurunan kesejahteraan masyarakat akibat kebijakan program konservasi, kedua biaya maupun manfaat dari program konservasi tidak efisien, optimal dan berkesinambungan, sehingga akan menjadi penyebab utama terjadinya ketidakefisienan ekonomi kebijakan konservasi ekosistem terumbu karang.
Konservasi merupakan suatu program untuk mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam melalui eksploitasi yang berlebihan. Sebab tidak semua sumberdaya alam ini bisa pulih dalam jangka waktu yang singkat. Dengan demikian, kesejahteraan generasi mendatang akan sangat ditentukan oleh generasi saat ini. Jika sumberdaya alam yang ada saat ini tidak dikelola dengan efisien dan berkelanjutan, maka yang akan terjadi tidak hanya krisis sumberdaya alam, tetapi bencana alam yang bisa menambah kesengsaraan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Belum diketahui seberapa besar manfaat program konservasi terumbu karang di Desa Gili Indah bagi masyarakat disekitarnya.
2. Belum diketahui berapa besar total biaya dari program konservasi terumbu karang yang dikeluarkan oleh BKSDA dan masyarakat adat di Desa Gili Indah
3. Belum diketahui apakah kegiatan konservasi sumberdaya terumbu karang yang selama ini dilakukan layak atau tidak secara ekonomi.

Rabu, 16 April 2008

dalam lingkungan kampus, berkembang semakin pesat. Akan tetapi kondisi ini selalu diikuti dengan kompleksitas persoalan-persoalan pembangunan nasional. Sehingga hubungan kerjasama antara pihak lembaga pendidikan dengan pengguna jasa pendidikan, mutlak diperlukan.
Pemerintah telah diberikan amanat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi dalam menjalankan amanah tersebut tidak un sich dilakukan sendiri. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemikiran gagasan-gagasan kreatif maupun kritikan konstruktif dari masyarakat kampus diperlukan melalui transpormasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Sebagai contoh, Kabupaten Wakaboti yang dikenal sebagai daerah yang kaya akan potensi laut dan biodiversitinya, tidak akan bisa manfaatkan secara efisien jika pemerintahnya tidak mengerti tentang ilmu ekonomi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tersebut. Yang terjadi mungkin saja eksploitasi secara besar-besaran tanpa mememikirkan dampak kerusakan, maupun kebutuhan dimasa yang akan datang.

My story

Orang tuaku ngasih nama Lalu Solihin, lahir 30 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1978 di Mertak Wareng, Kabupaten Lombok Tengah. tanggal 25 Februari lalu telah menyelesaikan studi di PS Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB Bogor. Alamat sementara di Asrama NTB Jalan Raya Darmaga Gang Masjid Al Barokah no 41 Kabupaten Bogor